%T Analisis Alasan Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor 312/PDT.G/2020/PA.BGR) %D 2023 %X Pada dasarnya perkawinan dilangsungkan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan, kekal dan abadi sebagaimana didefinisikan pada Pasal 1 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan). Hubungan perkawinan dapat putus bukan hanya karena kematian atau perceraian, tetapi juga karena pembatalan. Pembatalan perkawinan dimaksudkan untuk melindungi kesakralan suatu perkawinan dan untuk mendapatkan kepastian hukum suatu perkawinan. Penulis akan menguraikan kasus hukum yang merupakan obyek penelitian terhadap putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 312/Pdt.G/2022/PA.Bgr, yang menjelaskan bahwa pemohon sebagai isteri dari seorang laki-laki mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Bogor berupa pembatalan perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan telah diajukan oleh isteri dengan alasan adanya salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Menurut penulis, secara limitatif pembatalan perkawinan yang disebabkan salah sangka mengenai diri suami atau isteri telah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan bukti- bukti dan saksi yang diajukan oleh penggugat, maka dapat dikatakan bahwa beban pembuktian bukan terletak pada hakim, melainkan terletak pada para pihak yang berperkara, baik penggugat maupun tergugat. Pihak pengadilan tidak sampai masuk ranah membuktikannya, dimana pengadilan hanya memutus dan memeriksa perkara tersebut. Akibat hukum dari Putusan Nomor Nomor 312/Pdt.G/2022/PA.Bgr, yaitu Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Utara tidak berkekuatan hukum/batal demi hukum, serta semua hak dan kewajiban antara penggugat dan tergugat I menjadi tidak ada. Hal tersebut dikarenakan adanya putusan pembatalan perkawinan dari pengadilan berarti tidak ada perkawinan, sehingga pembatalan tersebut mengakibatkan seolah-olah tidak pernah terjadi perkawinan antara mereka yang perkawinannya dibatalkan. Terhadap status penggugat dan tergugat I karena tidak terikat dalam hubungan perkawinan, maka perkawinan dianggap tidak pernah ada, tidak ada akibat hukum, sehingga statusnya kembali menjadi seperti sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. %L eprintsunpak7744 %I Universitas Pakuan %A Anisa Febrianti Sudjatmiko %A Tuti Susilawati %A Dinalara D. Butar-butar