TY - THES PB - Universitas Pakuan AV - public N2 - Pembatalan perkawinan merupakan tindakan pengadilan yang berbentuk keputusan yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidaklah sah, yang mana dalam hukum perdata sesuatu yang dinilai tidak sah dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi. Terlepas dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, kasus mengenai pembatalan perkawinan juga sejatinya diatur lebih lanjut dalam Islam. Pembatalan perkawinan disebut juga dengan istilah fasakh yang berarti merusak atau membatalkan. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya salah satu rukun atau syarat maupun larangan perkawinan. Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis dengan jenis penelitian normatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah penelitian kepustakaan dan pengolahan data diolah secara kualitatif, yaitu dengan menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat dengan maksud agar tersusun suatu materi pembahasan yang simetris dan mudah untuk dipahami. Hasil analisis dari penelitian ini ialah 1). Batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan 6 (enam) bulan setelah perkawinan tersebut dilangsungkan, begitu pula yang dinyatakan dalam Pasal 72 ayat (3) KHI yang menyatakan 6 (enam) bulan setelah perkawinan tersebut dilangsungkan. 2). Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pembatalan perkawinan oleh suami pada Putusan Perkara Nomor 107/Pdt.G/2020/PA. Mmk adalah mengacu kepada Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu "Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri." Kemudian Pasal 71 huruf e yang menyatakan "Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak." Terhadap putusan tersebut penulis tidak sepakat, sebab merujuk pada Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan yang pada intinya bahwa jika jangka waktu 6 (enam) bulan setelah perkawinan itu dilangsungkan masih tetap hidup bersama, maka gugurnya hak untuk mengajukanpermohonan pembatalan perkawinan Penulis tidak setuju dengan dikabulkannya permohonan pembatalan perkawinan tersebut, meskipun pihak suami atau pihak isteri telah melanggar ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas. Menurut penulis, pengajuan yang diajukan oleh Pemohon bukanlah pembatalan perkawinan, melainkan permohonan perceraian. 3). Akibat hukum dari pembatalan perkawinan ialah berakhirnya hubungan suami isteri, kedudukan anak yang menjadi tanggung jawab dari suami isteri, dan mengenai harta bersama yang diatur menurut hukumnya masing-masing. Y1 - 2024/// UR - http://eprints.unpak.ac.id/9080/ A1 - Shalsa Fadhillah, Zhalma A1 - Siswajanthy, Farahdinny A1 - D. Butar-butar, Dinalara ID - eprintsunpak9080 TI - Analisis Batas Waktu Pengajuan Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Perkara Nomor 107/Pdt.G/2020/Pa.Mmk) M1 - Skripsi ER -